Dalam
matematika, ‘tak terhingga’ sering dianggap sebagai angka yang jumlahnya tak
terbatas, tetapi bukan merupakan bilangan real. Goerg Cantor pada tahun 1884
menunjukkan bukti matematika dan teori yang lengkap tentang ketakhinggaan
(infinity) dalam matematika yang merupakan dasar bagi matematika modern. Salah
satu hasil yang ditunjukkan oleh Cantor adalah adanya hierarki yang tak
terhingga dari ketakhinggaan. Namun, dalam matematika, konsep ketakhinggaan
untuk hierarki ketakhinggaan tampaknya tidak terlalu banyak diperhatikan
penggunaanya.
Dalam
budaya kuno, terdapat berbagai gagasan tentang sifat tak terhingga. Pada abad ke-5, orang-orang Yunani telah
menemukan masalah ‘tak terbatas’ pada tahap awal perkembangan matematika dan
sains. Mereka kemudian menyadari bahwa ‘kita dapat terus membagi suatu materi
menjadi potongan yang lebih kecil dan lebih kecil lagi sampai mencapai potongan
kecil yang tidak bisa dibagi lagi’. Pythagoras telah menegaskan bahwa ‘semua
adalah angka’ dan alam semesta itu terdiri dari bilangan asli yang terbatas.
Lalu, ada atomis yang meyakini bahwa materi itu terdiri dari jumlah yang tak
terbatas. Zeno dari Eleatic School juga sependapat dengan atomis tersebut.
Namun, paradoks Zeno menunjukkan bahwa pernyataan materi dapat dibagi terus
menerus pada teori atom ke-2 menyebabkan kontradiksi yang jelas.
Namun,
Aristoteles tampaknya tampaknya tidak sepenuhnya menghargai arti penting dari
pendapat Zeno tersebut, tetapi menganggap bahwa infinitemembawa masalah
baginya. Aristoteles menentang teori infinite yang sebenarnya. Dia menganggap
bahwa kita tidak mungkin bisa membayangkan bilangan asli secara keseluruhan.
Namun, angka-angka tersebut merupakan infinite potensial yang artinya setiap
bilangan yang terbatas selalu terdapat bilangan terbatas yang lebih besar.
Terdapat
kemajuan luar biasa yang dibuat oleh bangsa Babel yang memperkenalkan sistem
nilai letak untuk pertama kalinya, memungkinkan representasi singkat untuk
nomor tak terbatas. Aristoteles juga meyakini argumen tersebut. Namun, hanya
pada jumlah terbatas bilangan asli yang pernah dituliskan.
Mempertimbangkan
pada pendapat Aristoteles, para matematikawan Yunani hanya mengizinkan infinite
potensial, terutama Euclid. dalam bukunya Elemen, Euclid sebenarnya tidak
membuktikan himpunan bilangan prima adalah tak terbatas. Namun, Euclid
membuktikan bahwa bilangan prima berpotensi tak terbatas.
Belakangan,
telah ada bukti yang menunjukkan bahwa tidak semua ahli matematika kuno merasa
dibatasi dengan hanya berrusan dengan potensial tak terbatas. Achimedes
kemudian menyelidiki nomor tak terbatas dari suatu objek pada metode dalam
Archimedes palimpsest. Archimedes membahas tak terbatas sebenarnya hampir sama
dengan nomor pada umumnya.
Pada
abad ke-7 matematikawan India memperkenalkan nol dalam sistem bilangan mereka.
Mereka berpikir bagaimana membuat nol ke dalam operasi aritmatika. Ini
merupakan upaya untuk membawa tak terbatas dan nol ke dalam sistem nomor.
Bhaskara II kemudian berargumen bahwa nol dikalikan dengan infinite, hasilnya
harus sama dengan setiap bilangan n, jadi semua bilangan adalah sama.
Thomas
Aquinas, teolog dan filsuf Kristen, berpendapat berdasarkan fakta bahwa tidak
ada jumlah yang tak terbatas. Sebuah himpunan tak terbatas sebenarnya
memerlukan ukuran, dan ukuran tersebut mungkin tampak bagi Aquinas.
Pada
pertengahan abad 15, Nicholas dari Cusa berpendapat bahwa alam semesta adalah
tak terbatas. Pada abad ke-16, Gereja Katolik di Eropa mulai membasmi argumen
tersebut. Bahkan, Giordano Bruno yang juga berpendapat bahwa alam semesta
adalah tak terbatas, disiksa selama 9 tahun untuk membuatnya setuju bahwa alam
semesta itu terbatas sampai akhirnya dia dibakar di tiang.
Melihat
nasib Bruno, Galileo menjadi sangat berhati-hati saat mengajukan pendapatnya.
Dia kemudian memberi paradoks yang mirip dengan paradoks lingkaran, namun
dengan jumlah tak terbatas.
Pada
tahun 1635, Cavalieri menulis ‘Geometria Indivisibilibus Continuorum, ia
menganggap bahwa setiap garis terdiri dari titik-titik yang tak terhingga
banyaknya dan bidang terdiri dari garis yang tak terhingga banyaknya. Dia
memperkenalkan metode membandingkan daerah yang dikenal sebagai ‘Prinsip
Cavalieri’.
Berdasarkan
pada pemikiran Cavalieri, Roberval memperkenalkan metode untuk membandingkan
ukuran. Ini merupakan langkah nyata untuk menuju ke tak terbatas karena untuk
pertama kalinya ia mampu mengabaikan besaran yang sangat kecil. Namun, ada
perbedaan antara bisa manggunaka metode ini dengan benar dan menuliskan kondisi
yang tepat. Akibatnya, muncul paradoks yang membuat beberapa orang menolak
metode Roberval ini.
John
Wallis kemudian memperkenalkan simbol untuk tak terhingga dalam bukunya ‘De
Sectionibus Conicis’. Ada dugaan bahwa simbol ini berasal dari angka Romawi
untuk 1000 yang tampak seperti ClƆ. Dugaan lain adalah bahwa ia berasal dari
huruf Yunani omega, yang merupakan huruf terakhir dalam abjad Yunani.
Leibniz
kemudian berspekulasi luas tentang nomor yang tak terbatas dan penggunaannya
dalam matematika. Bagi Leibniz, baik infinitesimal maupun jumlah yang tak
terbatas adalah entitas yang ideal.
Bentuk
yang berbeda dari infinity adalah ordinal dan kardinal. Goerge Cantor mengembangkan
sistem nomor transfinite. Konsepsi matematika modern dengan kuantitas yang tak
terbatas kemudian dikembangkan pada akhir abad 19 oleh Cantor, Gottlob Frege,
Richard Dedekind, dan lainnya menggunakan ide dari himpunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar