Senin, 23 April 2012

History of Infinity


Dalam matematika, ‘tak terhingga’ sering dianggap sebagai angka yang jumlahnya tak terbatas, tetapi bukan merupakan bilangan real. Goerg Cantor pada tahun 1884 menunjukkan bukti matematika dan teori yang lengkap tentang ketakhinggaan (infinity) dalam matematika yang merupakan dasar bagi matematika modern. Salah satu hasil yang ditunjukkan oleh Cantor adalah adanya hierarki yang tak terhingga dari ketakhinggaan. Namun, dalam matematika, konsep ketakhinggaan untuk hierarki ketakhinggaan tampaknya tidak terlalu banyak diperhatikan penggunaanya.
Dalam budaya kuno, terdapat berbagai gagasan tentang sifat tak terhingga.  Pada abad ke-5, orang-orang Yunani telah menemukan masalah ‘tak terbatas’ pada tahap awal perkembangan matematika dan sains. Mereka kemudian menyadari bahwa ‘kita dapat terus membagi suatu materi menjadi potongan yang lebih kecil dan lebih kecil lagi sampai mencapai potongan kecil yang tidak bisa dibagi lagi’. Pythagoras telah menegaskan bahwa ‘semua adalah angka’ dan alam semesta itu terdiri dari bilangan asli yang terbatas. Lalu, ada atomis yang meyakini bahwa materi itu terdiri dari jumlah yang tak terbatas. Zeno dari Eleatic School juga sependapat dengan atomis tersebut. Namun, paradoks Zeno menunjukkan bahwa pernyataan materi dapat dibagi terus menerus pada teori atom ke-2 menyebabkan kontradiksi yang jelas.
Namun, Aristoteles tampaknya tampaknya tidak sepenuhnya menghargai arti penting dari pendapat Zeno tersebut, tetapi menganggap bahwa infinitemembawa masalah baginya. Aristoteles menentang teori infinite yang sebenarnya. Dia menganggap bahwa kita tidak mungkin bisa membayangkan bilangan asli secara keseluruhan. Namun, angka-angka tersebut merupakan infinite potensial yang artinya setiap bilangan yang terbatas selalu terdapat bilangan terbatas yang lebih besar.
Terdapat kemajuan luar biasa yang dibuat oleh bangsa Babel yang memperkenalkan sistem nilai letak untuk pertama kalinya, memungkinkan representasi singkat untuk nomor tak terbatas. Aristoteles juga meyakini argumen tersebut. Namun, hanya pada jumlah terbatas bilangan asli yang pernah dituliskan.
Mempertimbangkan pada pendapat Aristoteles, para matematikawan Yunani hanya mengizinkan infinite potensial, terutama Euclid. dalam bukunya Elemen, Euclid sebenarnya tidak membuktikan himpunan bilangan prima adalah tak terbatas. Namun, Euclid membuktikan bahwa bilangan prima berpotensi tak terbatas.
Belakangan, telah ada bukti yang menunjukkan bahwa tidak semua ahli matematika kuno merasa dibatasi dengan hanya berrusan dengan potensial tak terbatas. Achimedes kemudian menyelidiki nomor tak terbatas dari suatu objek pada metode dalam Archimedes palimpsest. Archimedes membahas tak terbatas sebenarnya hampir sama dengan nomor pada umumnya.
Pada abad ke-7 matematikawan India memperkenalkan nol dalam sistem bilangan mereka. Mereka berpikir bagaimana membuat nol ke dalam operasi aritmatika. Ini merupakan upaya untuk membawa tak terbatas dan nol ke dalam sistem nomor. Bhaskara II kemudian berargumen bahwa nol dikalikan dengan infinite, hasilnya harus sama dengan setiap bilangan n, jadi semua bilangan adalah sama.
Thomas Aquinas, teolog dan filsuf Kristen, berpendapat berdasarkan fakta bahwa tidak ada jumlah yang tak terbatas. Sebuah himpunan tak terbatas sebenarnya memerlukan ukuran, dan ukuran tersebut mungkin tampak bagi Aquinas.
Pada pertengahan abad 15, Nicholas dari Cusa berpendapat bahwa alam semesta adalah tak terbatas. Pada abad ke-16, Gereja Katolik di Eropa mulai membasmi argumen tersebut. Bahkan, Giordano Bruno yang juga berpendapat bahwa alam semesta adalah tak terbatas, disiksa selama 9 tahun untuk membuatnya setuju bahwa alam semesta itu terbatas sampai akhirnya dia dibakar di tiang.
Melihat nasib Bruno, Galileo menjadi sangat berhati-hati saat mengajukan pendapatnya. Dia kemudian memberi paradoks yang mirip dengan paradoks lingkaran, namun dengan jumlah tak terbatas.
Pada tahun 1635, Cavalieri menulis ‘Geometria Indivisibilibus Continuorum, ia menganggap bahwa setiap garis terdiri dari titik-titik yang tak terhingga banyaknya dan bidang terdiri dari garis yang tak terhingga banyaknya. Dia memperkenalkan metode membandingkan daerah yang dikenal sebagai ‘Prinsip Cavalieri’.
Berdasarkan pada pemikiran Cavalieri, Roberval memperkenalkan metode untuk membandingkan ukuran. Ini merupakan langkah nyata untuk menuju ke tak terbatas karena untuk pertama kalinya ia mampu mengabaikan besaran yang sangat kecil. Namun, ada perbedaan antara bisa manggunaka metode ini dengan benar dan menuliskan kondisi yang tepat. Akibatnya, muncul paradoks yang membuat beberapa orang menolak metode Roberval ini.
John Wallis kemudian memperkenalkan simbol untuk tak terhingga dalam bukunya ‘De Sectionibus Conicis’. Ada dugaan bahwa simbol ini berasal dari angka Romawi untuk 1000 yang tampak seperti ClƆ. Dugaan lain adalah bahwa ia berasal dari huruf Yunani omega, yang merupakan huruf terakhir dalam abjad Yunani.
Leibniz kemudian berspekulasi luas tentang nomor yang tak terbatas dan penggunaannya dalam matematika. Bagi Leibniz, baik infinitesimal maupun jumlah yang tak terbatas adalah entitas yang ideal.
Bentuk yang berbeda dari infinity adalah ordinal dan kardinal. Goerge Cantor mengembangkan sistem nomor transfinite. Konsepsi matematika modern dengan kuantitas yang tak terbatas kemudian dikembangkan pada akhir abad 19 oleh Cantor, Gottlob Frege, Richard Dedekind, dan lainnya menggunakan ide dari himpunan.

Sumber :

Minggu, 15 April 2012

The Story of Mathematics


Bermula dari penemuan manusia yang paling awal sampai saat ini, dimana teknologi sudah begitu canggih, matematika selalu menjadi pusat dalam kehidupan setiap manusia. Sejarah matematika dimulai dari budaya Mesir Kuno, Mesopotamia dan Yunani. Di dalam budaya Yunani Kuno, terdapat dasar-dasar perhitungan matematika. Namun, peradaban Yunani Kuno kemudian mengalami kemunduran, begitu juga dengan matematika. Tapi itu di Barat. Di Timur, matematika mencapai puncak kejayaannya. Banyak terobosan-terobosan baru yang ditemukan. Inilah kisah matematika Timur yang akan mengubah dunia Barat dan melahirkan dunia modern.
The Genius of The East
China
Dimulai dengan matematika di Cina. Tembok Besar China yang panjangnya mencapai ribuan mil, dibuat selama hampir 2000 tahun, dimulai pada 220 SM. Saat akan membangun, bangsa China Kuno menyadari bahwa mereka harus membuat perhitungan tentang jarak, sudut elevasi dan jumlah material yang dibutuhkan. Jadi beberapa matematikawan China terinspirasi untuk membantu membangun imperial China tersebut.
Di China Kuno, matematika merupakan sistem yang sangat sederhana, yang menjadi dasar untuk cara menghitung yang kita gunakan saat ini. Dimulai ketika seorang matematikawan ingin menggunakan batang bambu kecil yang disusun untuk mewakili angka 1 sampai 9.
Mereka kemudian ditempatkan dalam kolom-kolom yang mewakili satuan, puluhan, ratusan, ribuan dan seterusnya. Sebagai contoh 924 diwakili dengan menempatkan simbol 4 di kolom satuan, simbol 2 di kolom puluhan dan simbol 9 di kolom ratusan.
Inilah yang sekarang kita sebut sebagai bilangan desimal dengan sistem nilai letak. Simbol dengan menggunakan batang bambu ini, membuat proses perhitungan menjadi sangan cepat. Bahkan, cara perhitungan yang dilakukan bangsa China Kuno sangat mirip dengan cara yang kita pakai saat ini. Bangsa China Kuno merupakan yang pertama kali menggunakan bilangan desimal dengan sistem nilai letak, mereka bahkan melakukannya lebih dari 1000 tahun sebelum bangsa Barat. Tetapi, mereka hanya menggunakan sistem nilai letak ketika menghitung dengan batang. Dalam penulisan, mereka tidak menggunakan sistem nilai letak tersebut. Mereka justru menggunakan metode yang lebih rumit dengan simbol-simbol khusus untuk mewakili puluhan, ratusan, ribuan dan seterusnya. Sehingga menjadi tidak efisien.
Namun, bangsa China Kuno tidak memiliki konsep untuk nol. Mereka juga tidak memiliki simbol untuk nol. Mereka menganggap nol tidak ada dalam sistem bilangan mereka. Saat menghitung menggunakan batang, mereka akan menggunakan ruang kosong sebagai nol. Masalahnya adalah saat mereka menuliskannya, mereka harus menciptakan simbol baru untuk puluhan, ratusan, ribuan dan seterusnya. Tetapi, mereka sangat jarang menggunakan angka nol dalam penulisan.
Banyak yang tertarik dengan angka China Kuno. Menurut legenda, pemimpin pertama kedaulatan China, Kaisar Kuning, memiliki salah satu dewa yang menciptakan matematika pada 2800 SM. Dan sampai sekarang, bangsa China masih mempercayai kekuatan mistik angka. Misalnya seperti angka ganjil yang dipandang sebagai pria dan genap sebagai wanita, angka 4 yang harus dihindari dari semua biaya karena membawa sial, dan angka 8 yang membawa keberuntungan.
Bangsa Tiongkok Kuno yang tertarik pada pola-pola bilangan kemudian mengembangkannya menjadi sudoku versi awal, yang disebut sebagai bujur sangkar ajaib. Legenda mengatakan bahwa ribuan tahun yang lalu Kaisar Yu didatangi oleh Penyu suci yang keluar dari kedalaman sungai Kuning. Di punggungnya terdapat nomor yang disusun menjadi bujur sangkr ajaib.
4
9
2
3
5
7
8
1
6

Semua angka dalam setiap baris horisontal, vertikal maupun diagonal, jika dijumlahkan maka jumlahnya akan sama, yaitu 15. Sekarang, bujur sangkar ajaib tidak lebih dari sebuah teka-teki yang menyenangkan, tetapi menunjukkan bahwa bangsa China Kuno tertarik pada pola matematika. Dan tidak lama setelah itu, mereka menciptakan bujur sangkar ajaib yang lebih besar dan lebih besar lagi.
Matematika juga memiliki peran penting dalam Pengadilan Kaisar. Kalender dan pergerakkan planet-planet merupakan yang paling penting bagi Kaisar karena mempengaruhi semua keputusan, bahkan sampai menentukan waktu untuk hari esok. Sehingga para astronom menjadi anggota kekaisaran yang sangat penting. Segala sesuatu dalam hidup Kaisar diatur oleh kalender. Kaisar bahkan meminta penasihat matematika untuk datang dan membantunya dalam mengatur waktu tidurnya yang melibatkan sejumlah perempuan yang ada dalam istananya. Kehidupan Kaisar dengan para wanita dalam istananya tersebut dikenal dengan deret ukur atau yang sekarang disebut sebagai deret geometri.
Di China Kuno juga ditemukan standar satuan berat, ukuran dan uang. Terdapat pula buku yang ditulis sekitar 200 SM, yang terdiri dari 9 bab dan berisi masalah-masalah dasar matematika seperti dalam perdagangan, pembayaran upah dan pajak.
Kemudian ditemukan cara untuk menyelesaikan suatu persamaan dengan menggunakan metode yang kita sebut metode eliminasi. Metode ini tidak muncul sampai abad 19, pada tahun 1809, ketika menganalisis batu Pallas di Sabuk Asteroid, Carl Friedrich Gauss, yang dikenal sebagai pangeran matematika menemukan kembali metode ini. China terus mengembangkan metode tersebut untuk persamaan yang lebih rumit yang kemudian dikenal dengan Teorema Sisa China.
Pada abad ke-6, Teorema Sisa China digunakan dalam astronomi China Kuno untuk mengukur pergerakan planet. Pada abad ke-13, matematika masuk dalam kurikulum pendidikan dan lebih dari 30 sekolah matematika tersebar di dunia.
Masa keemasan matematika China pun tiba. Yang berperan paling penting dalam hal ini adalah Qin Jiushao. Qin memulai dengan mencoba memecahkan persamaan di sekitarnya. Kemudian persamaan kuadrat. Tapi, Qin tertarik pada persamaan yang lebih rumit, yaitu persamaan kubik. Qin kemudian menemukan cara untuk menyelesaikan persamaan kubik. Yang mengejutkan adalah metode Qin untuk menyelesaikan persamaan kubik tidak ditemukan di Barat sampai abad ke-17, ketika Issac Newton menemukan metode yang sangat mirip dengan metode ini yang bahkan dapat digunakan untuk persamaan yang lebih rumit. Namun, metode yang digunakan Qin ternyata hanya memberinya perkiraan solusi, bukan solusi. Matematika adalah ilmu pasti. Namun, Qin tidak dapat memberikan solusi yang tepat untuk persamaan yang rumit.
India
China telah membuat lompatan besar bagi matematika. Penemuan berikutnya terdapat di negara sebelah Barat Daya China, India yang kaya akan tradisinya.
India telah menggunakan sistem nilai letak desimal sejak pertengahan abad ke-3. Orang Indialah yang menemukan simbol untuk 9 angka yang kita gunakan sekarang ini. Namun, ada satu angka yang hilang. Angka bru ini ditemukan di ukiran di dinding candi kecil di benteng di Gwalior, India Tengah. Angka baru tersebut adalah yang kita sebut dengan nol. Di Yunani Kuno, Mesir, Mesopotamia dan China, nol telah digunakan, tetapi hanya sebagai ruang kosong, mereka belum memiliki simbol untuk nol, dan nol tidak termasuk dalam sistem bilangan mereka. Sekarang, terdapat 10 digit angka dalam sistem bilangan, yaitu nol sampai sembilan. Dengan 10 digit angka tersebut, memungkinkan untuk menangkap nomor astronomis dengan cara yang sangat efisien. Ide dan simbol nol tersebut mungkin berasal dari cara perhitungan yang mereka lakukan dengan batu dan pasir.
Orang India menggunakan kata ‘shunya’ untuk mewakili istilah ‘nol’. Pada abad ke-7, seorang matematikawan India, Brahmagupta berhasil membuktikan beberapa sifat penting nol. Yaitu, suatu bilangan jika dijumlahkan dengan nol hasilnya bilangan itu sendiri, begitu pula jika sebuah bilangan dikalikan dengan nol hasilnya adalah nol. Namun, Brahmagupta mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan pembagian oleh nol. Dia mengatakaan bahwa suatu bilangan jika dibagi dengan nol hasilnya bilangan itu sendiri. Pada abad ke-12, seorang matwmatikawan India, Bhaskara II memperbaiki kesalahan Brhamagupta, bahwa jika suatu bilangan dibagi dengan nol hasilnya adalah tak terhingga.
Kemudian ditemukan bilangan negatif, dimana orang India menyebutnya sebagai ‘hutang’. Kemampuan mereka menemukan nol dan bilangan negatif adalah karena mereka menganggap bilangan sebagai entitas abstrak. Hal ini yang menyebabkan munculnya ledakan ide-ide matematika. Mereka kemudian menemukan cara untuk menyelesaikan masalah persamaan kuadrat. Brahmagupta memandang bahwa persamaan kuadrat selalu memiliki dua solusi dan salah satunya bisa berupa bilangan negatif. Brahmagupta kemudian melanjutkan pada persamaan kuadrat dengan dua variabel yang belum ditemukan di Barat sampai tahun 1657 ketika Fermat, seorang matematikawan Perancis menantang rekan-rekannya dengan masalah yang sama. Brahmagupta mulai menemukan cara untuk memecahkan persamaan tersebut, tapi ia juga mengembangkan bahasa matematika baru untuk mengekspresikan abstraksi tersebut. Brahmagupta menggunakan simbol yang berbeda untuk mewakili nilai yang tidak diketahui dalam persamaan tersebut, yang akhirnya mengarah pada x dan y.
Matematikawan India juga membuat dasar baru penemuan dalam teori trigonimetri. Meskipun pertaama kali dikembangkan oleh orang Yunani Kuno, trigonometri benar-benar berkembang di tangan matematikawan India. Ada pula fingsi sinus, yang ketika sudutnya diketahui, maka akan ditemukan panjang sisi-sisi segitiga siku-siku tersebut. Trigonometri ini juga digunakan oleh para astronom India untuk bekerja di luar jarak relatif antara Bumi dan bulan, dan Bumi dan matahari. Jadi, dengan menggunakan trigonometri, matematikawan India dapat mengeksplorasi tata surya tanpa harus meninggalkan Bumi.
Orang Yunani Kuno mungkin yang pertama kali mengeksplorasi fungsi sinus dan daftar nilai yang tepat untuk beberapa sudut, tetapi mereka tidak dapat menghitung sinus dari setiap sudut. Orang India mencari cara untuk menghitung fungsi sinus dari sudut manapun. Pencarian fungsi sinus dilanjutkan di Kerala, India Selatan. Seorang matematikawan, Madhava membuat beberapa penemuan luar biasa matematika. Kunci keberhasilannya adalah konsep yang tak terbatas. Madhava kemudian menemukan konsep bilangan pecahan. Madhava kemudian melakukan banyak penelitian antara seri (jumlah yang tak terbatas) dan trigonometri. Dia kemudian menyadari bahwa ia bisa menggunakan prinsip penjumlahan tak terhingga untuk menemukan nilai pi. Selama berabad-abad para matematikawan mencari nilai yang tepat untuk pi. Hingga pada abad ke-16, seorang matematikawan India, Aryabhata memberikan perkiraan yang sangat akurat untuk pi, yaitu 3,1416. Dia kemudian menggunakannya untuk mengukur keliling Bumi. Madhava kemudian menyadari ia dapat menggunakan jumlah tak terhingga untuk mendapatkan formula yang tepat untuk pi. Ia juga menggunakan jumlah tak terbatas untukrumus sinus dalam trigonometri.
Namun, penemuan-penemuan tersebut hampir semua diklaim oleh Barat. Madhava merupakan salah satu matematikawan yang menderita karenanya. Sekarang, sejarah matematika sedang ditulis ulang, bahwa matematikawan Timur banyak berdampak besar bagi Eropa.
Timur Tengah
Pada abad ke-7, di Timur Tengah mulai menyebar kerajaan Islam yang membentang dari India ke Maroko. Para ulama Muslim mengumpulkan dan menterjemahkan teks kuno. Tanpa mereka, kita tidak akan mengenal budaya Mesir Kuno, Babilonia, Yunani dan India. Namun, mereka tidak puas hanya dengan menterjemahkan saja, mereka ingin menciptakan matematika mereka sendiri.
Seorang sarjana Persia, Muhammad Al-Khwarizmi adalah orang luar biasa yang memperkenalkan konsep-konsep matematika di Barat. Al-Khwarizmi juga yang memperkenalkan angka-angka Hindu. Bahkan, angka-angka itu sekarang dikenal dengan angka Hindu-Arab. Al-Khwarizmi kemudian menciptakan bahasa baru matematika, yaitu ‘Aljabar’ dalam bukunya Al-Jabr Wal Muqabala.
Sebelumnya, China dan India telah mempertimbangkan masalah yang spesifik, namun Al-Khwarizmi menyelesaikan masalah dari spesifik ke umum. Dia mengembangkan cara yang sistematis untuk menganalisa masalah, sehingga akan didapatkan solusi yang tepat. Al-Khwarizmi kemudian menerapkan Aljabar pada persamaan kuadrat, dan akhirnya mengarah pada rumus yang dapat digunakan untuk setiap persamaan kuadrat.
Ommar Khayyam, yang merupakan seorang penyair terkenal menemukan metode untuk memecahkan semua persamaan kubik. Tetapi, ia masih sangat dipengaruhi oleh warisan geometris dari Yunani. Dia tidak dapat memisahkan aljabar dari geometri. Ia bahkan tidak mempertimbangkan persamaan dalam derajat yang lebih tinggi. Meskipun geometri memungkinkannya untuk menganalisis persamaan kubik sampai batas tertentu, ia masih tidak bisa menemukan solusi murni aljabar.
Italia
Selama berabad-abad, China, India dan kerajaan Islam telah menguasai matematika, sedangkan Eropa tertinggal jauh. Semua kehidupan intelektual, termasuk studi matematika, telah mengalami stagnasi. Tetapi, pada abad ke-13, Eropa mulai mengeksplorasi dan melakukan perdagangan dengan Timur.
Seorang matematikawan, Leonardo Fibonacci, dalam bukunya memperkenalkan sistem nomor yang baru (angka Hindu-Arab) yang lebih sederhana dibandingkan angka Romawi. Namun, angka tersebut ditentang oleh pemerintah. Namun, seiring berjalannya waktu, akal sehat pun menang dan sistem Romawi Kuno perlahan menjadi mati. Fibonacci juga menemukan deret yang sekarang disebut deret Fibonacci, yang muncul ketika ia mencoba memecahkan teka-teki tentang perkembangbiakan kelinci.
Secara umum, diasumsikan bahwa sebuah metode umum tidak mungkin dapat digunakan untuk menyelesaikan semua persamaan kubik. Tartaglia kemudian membuktikan bahwa anggapan itu salah. Tapi dia sama sekali tidak terlihat. Tartaglia kemudian menemukan formula untuk menyelesaikan persamaan kubik. Namun, dia bukan satu-satunya. Ada pula Fior yang memegang rahasia untuk menyelesaikan persamaan kubik. Saat berita tentang penemuan dibuat oleh 2 ahli matematika, maka diadakan kompetisi matematika. Namun,Tartaglia hanya tahu cara untuk menyelesaikan satu jenis persamaan kubik saja. Tapi, hanya beberapa hari sebelum kompetisi, Tartaglia berhasil menemukan formula untuk menyelesaikan semua jenis persamaan kubik. Tartaglia pun mengalahkan Fior dalam kompetisi. Beritapun menyebar sampai matematikawan Milan, Cardano yang putus asa untuk menemukannya, kemudian membujuk Tartaglia untuk mengungkapkan rahasianya. Tetapi dengan satu syarat, Cardano harus menjaga rahasia dan tidak pernah mempublikasikannya. Tapi Cardano tidak bisa menahannya. Dia membahas solusi Tartaglia dengan muridnya, Ferrari. Ferrari menyadari ia bisa menggunakannya untuk persamaan yang lebih rumit. Cardano bersama dengan Ferrari kemudian mempublikasikan formula tersebut, dan sampai saat ini, rumus tersebut dikenal dengan rumus Cardano. Tartaglia miskin dan meninggal tanpa uang sepeserpun.
Orang-orang Eropa sekarang, memakai angka Hindu-Arab. Sudah saatnya dunia Barat mulai menulis sendiri cerita matematika dalam bahasa Timur. Revolosi matematika akan segera dimulai.